Minggu, 17 April 2011

baru

1. Tujuan proses pengolahan
Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan batubara, maka pengadaan proses pengolahan batubara (coal Processing plant /CCP) bertujuan untuk mengolah batubara menjadi produk batubara ( product area ) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode penambangan yang terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara, meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:
a. Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)
b. Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)
c. Melakukan pencampuran (blending) batubara
d. Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)
e. Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).

2. Desain pengolahan batubara
Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati konsumen perlu rancangan pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya memuaskan. Rancang bangun unit pengolahan didasarkan pada faktor-faktor antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata, kualitas batubara dari tambang (raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan lahan untuk area pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air disekitar area pengolahan. Semua f aktor tersebut diatas akan menentukan jenis, dimensi dan kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta flowsheet pengolahan yang sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan kerja.

2.1 Kapasitas produksi
Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau memenuhi target produksi optimum yang direncanakan misal, yaitu 2.000.000 ton per tahun dengan kapasitas stockpile sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan target tahunan tersebut dapat dihitung kapasitas unit pengolahan yang beroperasi 2 shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan efisiensi kerja 80% sebagai berikut:

T = 0,80 x 16 jam/hari x 28 hari/bulan x 12 bulan/tahun = 4300 jam/tahun

2.000.000 ton/tahun
K = -------------------- = 465 ton/jam
4300 jam/tahun

Loses factor = 8% = 0,08 x 465 = 37 ton/jam

Kterpasang = 465 + 37 = 502 ton/jam
Di mana T dan K masing-masing adalah waktu produksi dan kapasitas produksi. Dengan loses factor sebesar 8% akan diperoleh kapasitas terpasang sekitar 500 ton/jam.

2.2 Kualitas produksi
Kualitas produksi hasil proses pengolahan batubara harus dapat me menuhi persyaratan yang diinginkan pasar. Berdasarkan survey pasar dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara yang harus dihasilkan proses pengolahan seperti terlihat pada Tabel berikut :

2.3 Prosedur pengolahan batubara
Prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara mulai dari penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir. Gambar 1 adalah diagram alir (flowsheet) proses pengolahan yang merupakan gambaran dari prosedur pengolahan batubara.
a. Persiapan pengumpanan (feeding)
Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar d ari 300 mm akan dilakukan pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari tambang maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel loader untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta akhir yang siap jual.

b. Pengay akan dengan Grizzly
Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x 300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk u mpan crusher primer. Sedangkan fraksi +300 mm di kembalikan ke tumpukan untuk dire duksi ulang menggunakan hammer breaker. Hasil reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau pengayakan ulang. Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.
c. Peremukan tahap awal (primary crusher)
Proses peremukan awal bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer ini adalah 2. Alat yang digunakan adala h roll crusher yang berkapasitas 50 0 ton/jam. Untuk menaksir power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation seperti terlihat berikut ini.
Written by Boss Tambang Friday, 22 January 2010 15:42


di mana:
Wi = Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan (grindability) di lab, untuk batubara sekitar 11,37
C = konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung jenis bahan metal pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10
F = diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
P = diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1

Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000) sebanyak 80%
faktor = 0,75 (crusher primer)


d. Pengayakan (screening) tahap-1
Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompokan ukuran fraksi batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150 mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm diresirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus dipasang.

Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang dipakai dalam rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan beberapa rangkuman konstanta (faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang
telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan batubara. Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan (ton/jam/ft²) dan Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju produkta per inci bed depth (ketebalan lapisan aggregate batubara di atas ayakan) dengan kecepatan 1 ft/sec. Kapasitas screen dirumuskan sebagai berikut:

K = P x E x D x F x W x T x B (3)

di mana:
K = kapasitas, ton/jam/sqft
P = produksi, ton/jam/sqft
E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2

Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen


Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara



Gambar 2. Pengestimasi laju produkta dan bed depth


Hubungan Antara Produksi (ton/jam/cuft) dengan ukuran produkta dan Hubungan Antara Lebar Ayakan dengan Bed depth pada Kecepatan Alir 1 ft/sec

Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150 mm.
(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 150 mm 6 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -3 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -6 inci; E = 1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 6¼” x 6¼”; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60
60 = 1,00
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -6 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2) Luas screen yang diperlukan
Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 4 ton/jam per sqft
Kapasitas (pers. 3) = 4 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 7 ton/jam per sqft
Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam
Luas screen yang diperlukan = 500 / 7 = 71,43 sqft

(3) Perhitungan bed depth
Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aa ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif screen 4 ft-6”)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci bed depth = 40 x 55 / 60 = 37 ton/jam per inci bed depth
Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”
Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6”, maka akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilaku kan simulasi dengan mengubah sudut screen.
Dari perhitungan luas screen diatas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft berarti lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15–20 HP (11–15 kW). Pemilihan screen tersebut didasari oleh tidak adanya di mensi screen yang sesuai persis dengan hitungan dan screen dengan seri tersebut yang paling mendekati. Disamping itu screen jenis ini dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas pengayakan dapat ditambah.

e. Peremukan sekunder (secondary crushing)
Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam. Dilihat dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut dihitung sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 ) sebanyak 80%
faktor = 1,00 (crusher sekunder)

e. Pengayakan tahap-2
Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran -150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.

Download : PDF | Doc
Search More Related To This Page :


Email Subscription
Enter your email address:


Delivered by FeedBurner
Related Articles
• Batubara Sebagai Bahan Bakar PLTU
• Rekayasa
• Sifat Umum
• Batubara Dalam Industri Semen
• Lingkungan Hidup
• Rencana Bahan Galian Industri
• Kualitas
• Cara Terbentuknya
• Coal
• Gambut

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm ---> 2 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 in ci; E = 1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2¼” x 2¼”; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60/60 = 1,00
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan ka ndungan -2 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2) Luas screen yang diperlukan
Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 2,9 ton/jam per sqft
Kapasitas (pers. 3) = 2,9 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 5,10 ton/jam per sqft
Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam
Luas screen yang diperlukan = 500 / 5,1 = 98,04 sqft
(3) Perhitungan bed depth
Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas a ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif screen 4 ft-6”)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci bed depth = 40 x 55/60 = 37 ton/jam per inci bed depth
Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”

Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2”, maka akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut screen. Dari perhitungan luas screen di ata s, yaitu 98.04 sqft, ke mudian disesuaikan den gan spesifikasi unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).

3. Proses penyampuran batubara (blending)
Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah:
a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile
b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori
c. Variasi parameter batubara yang akan di blending
d. Peralatan blending yang memadai
e. Kapasitas stockpile harus mencukupi
Apabila permintaan pasar sesuai de ngan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak perlu dilakukan blending.
Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:

dimana:
Qb = Kualitas blending
Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, …, n
Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,…,n

Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker) dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Dengan menggunakan stacker conveyor harus dilakukan proses penimbunan yang menghasilkan perlapisan teratur agar diperoleh ratio campuran yang relatif memadai. Oleh sebab itu terdapat 3 model blending, yaitu chevron, windrow dan chevron-windrow, yang menghasilkan berbagai perlapisan seperti terlihat pada Gambar 5.


Gambar 5. Timbunan blending batubara menggunakan stacker conveyor

Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders den gan kecepatan bervariasi biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal ini disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:
a. Kecepatan feeder dari setiap bin da pat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;
b. Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat diko ntrol menggunakan alat Ratio Unit;
c. Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter;
d. Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.

4. Kolam pengendap (settling pond)
Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemarkan lingkungan, baik secara fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batu bara akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air tersebut menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk ke sungai, maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia terjadi ketika air hujan bereaksi den gan unsur-unsur kimia y ang terkandung dalam mineral yang berasosiasi dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi oksidasi yang dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan reaksi berikut ini.
2 FeS2 + 7O2 + 2 H2O -------------> 2 FeSO4 + 2 H2SO4

Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus didalam air limbah atau buangan yang keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke sungai. Diharapkan kolam pengendap ini menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif lingkungan akibat aliran air kotor dari tumpukan batubara . Kolam pengendap dibuat pada topografi paling rendah yang biasanya dekat dengan sungai, sehingga jarak pengaliran air bersih ke sungai menjadi pendek.
Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama.

5. Tata letak diunit pengolahan dan sekitarnya

Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan pekerjaan pembersihan unit-unit pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
a. Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target;
b. Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen;
c. Luas pabrik pengolahan atau processing area;
d. Luas perkantoran dan sekitarnya;
e. Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut , panjang konveyor, area maneuver alat muat (loader) dan water treatment.

a. Geometri dan luas raw coal stockpile
Untuk memenuhi target produksi yang direncanakan sebesar 2.000.000 ton/tahun diperlukan cadangan raw coal stockpile yang mampu menampung sekitar 200.0 00 ton/2 bulan. Berdasarkan cadangan raw coal tersebut perlu diketahui bentuk bangun timbunan batubara, sehingga dapat dipersiapkan luas lahannya dengan perhitungan sebagai berikut :
Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya adalah 1/3 t x (B + A + VB + A), di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah, luas bidang atas dan tinggi;

Gambar 6. Bentuk bangun dan geometri raw coal stockpile

Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiringan lereng timbunan 35º.
LB = panjang atau lebar sisi alas = 200 m, LA dicari sebagai berikut:

Dengan estimasi densitas raw coal = 1,6 Ton/m³, maka berat (W) timbunan raw coal = 241.685 ton/timbunan
Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima.

b. Geometri dan luas product coal stockpile
Stockpile ini digunakan untuk menampung sementara batubara hasil pengolahan. Timbunan batubara terbentuk dari curahan belt conveyor, sehingga bentuknya adalah kerucut (lihat Gambar 7). Kapasitas timbunan 100.000 ton/bulan, maka dimensinya dihitung sebagai berikut:
*). Diestimasi diameter lingkaran bawah = 100 m, sudut kemiringan timbunan batubara 35º dan tinggi tumpukan maksimum 10 m, maka diameter lingkar an atas =

= 71,4 m

Gambar 7. Bentuk bangun dan geometri product coal stockpile

Volume dihitung dengan rumus 1/3 ∏ h (R2 + r2 + Rr), di mana h, R dan r masing-masing adalah tinggi kerucut, jari-jari lingkaran bawah dan jari-jari lingkaran atas.
V = 1/3 ∏ 10 (102 + 35,72 + (10 x 35,7)) = 58.220 m³
Dengan estimasi densitas produk batubara 1,8 Ton/m³, maka berat (W) timbunan produk akhir batubara = 104.800 ton/timbunan

Dibandingkan dengan target 100.000 ton/bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan batubara seperti pada Gambar 7 di atas dapat diterima.

c. Dampak timbunan batubara terhadap subsidence
Pembebanan dari stockpile batubara dapat menyebabkan lapisan dibawahnya mengalami pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi partikel tanah, keluarnya air atau udara dari dalam pori-pori tanah dan getaran crusher serta alat-alat pengolahan lainnya.
Secara umum penurunan tanah tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) penurunan konsolidasi dan (2) penurunan segera:
(1) Penurunan “konsolidasi” terjadi akibat berubahnya volume tanah jenuh air akibat keluarnya air dari pori-pori tanah tersebut. Biasanya peristiwa ini memakan waktu lama.
(2) Penurunan “segera” terjadi setelah terjadi penambahan tegangan akibat beban timbunan batubara diatasnya dan tidak berpengaruh terhadap kadar air tanah. Timbunan batubara menimbulkan penyebaran tegangan pada lapisan tanah di bawahnya yang dapat dianalisis dengan cara pendekatan.

Penurunan “segera” tidak diperhitungkan karena penuruannya kecil sekali dibanding penurunan “konsolidasi” dan juga karena terbatasnya parameter yang dibutuhkan. Sementara penurunan konsolidasi diasumsikan terjadi dengan merembesnya air ke dua arah (double drainage), yaitu keatas dan kebawah. Karena umur tambang batubara diperkirakan hanya sekitar 5 tahun, maka pengaruh penurunan konsolidasi ini pun kurang begitu signifikan. Estimasi penurunan tanah akibat timbunan batubara untuk jangka waktu 5 tahun ± 0,5 m sedangkan penurunan yang diijinkan ± 3 m.